November 19, 2008

Nuning

.

Dia menghampiriku di situ

Di sudut rel kereta api yang remang

Usianya 18 tahun dan

senyumnya mengajak lelaki menjadi lelaki

Tapi aku lelah dan kamipun merokok berdua

Hingga kami saling bercerita

.

Tentang kota ini

Dan mulut-mulut lelaki bau alkohol

Tentang adiknya di kampung

Tentang aku yang baru saja di PHK

Lalu kami jalan-jalan dalam gelap

Masuk ke dalam gerbong kereta setelah lompat pagar berkawat

Ada tikus lewat dan dia melompat

.

Kami kepergok keamanan

Digiring ke kantor

Ditelanjangi

Ditendang

Diludahi

Dibawa ke kantor polisi dan menginap sehari

Besoknya Nuning gila

.

Abu

Bogor, 15 Oktober 2008

Tua-tua Keladi

November 19, 2008

Ada berapa mantan jenderal bikin partai?

Tiga, empat atau lima?

.

Ada penculik bicara hati nurani

Bicara petani

yang tanahnya direbut pengusaha yang dibantu tentara

.

Ada berapa mantan jenderal bikin partai?

Lima?

Bukan, empat!

Atau tiga, saya lupa…

.

Tapi saya masih ingat

Bagaimana Semanggi

Bagaimana Priok

Bagaimana Koramil seram sekali

Atau bagaimana Wiji Thukul hilang sampai sekarang

.

Memang kenapa kalau mantan jenderal bikin partai?

Memang kenapa kalau mantan jenderal jadi presiden?

Mantan jenderal tegas dan berwibawa

Mantan jenderal tahu bagaimana jadi pemimpin

Mantan jenderal juga galak

Galak sama kita-kita

Takut sama Amerika

.

Ada berapa mantan jenderal bikin partai?

Tua-tua keladi…

Kepingin jadi presiden

.

Bogor, 15 Okober 2008

November 19, 2008

Menang Togel

.

Namanya Prayitno

Sudah sepuluh tahun tak pulang kampung

“Aku rindu ibuku mas dan ingin ziarah ke makam bapak” katanya,

ketika mau minjam uang untuk mudik

ke perkampungan transmigrasi di kalimantan

.

Prayitno usianya 26 tahun

Di Jakarta dua kali masuk penjara

Pertama karena berkelahi sama anak polisi

Kedua karena memukuli tramtib

.

Prayitno dikenal berani

Tapi sopan sekali

Ia bekerja jadi tukang gali sumur

Ikut kerabatnya dari kampung

.

Galian sumur lagi sepi

Lebaran sebentar lagi

Aku tak dapat THR ternyata

Order sepi katanya

Janjiku kandas

Prayitno dan aku sama-sama lemas

.

Dua hari mau lebaran Prayitno datang

Kasih uang

Katanya menang togel

Alhamdulillah..

.

Abu di Bogor, 15 Oktober 2008

Bunyi Sirine

November 19, 2008

Bunyi sirine!

.

Becak berlarian kesana kemari

Ada yang masuk got

Ada yang nabrak angkot

Ada yang harakiri nabrak mobil tramtib

Ada yang diam saja sambil berdoa

Ada yang berteriak

Ada yang panas

Semuanya sia-sia

.

Becak-becak dianggap rongsokan

Dinaikan ke truk kuning pengangkut sampah

Sebagian dihancurkan, dikilo jadi besi ke penampungan

Sebagian dijual utuh ke kota lain

.

Tapi kami ajaib

Kemarin tukang becak

Hari ini tukang parkir, tukang pikul, tukang pukul, tukang cukur,…

Kami butuh makan

Siapa butuh ketertiban tapi lapar?

.

Bogor, 15 Oktober 2008

Senggama Keyakinan

November 13, 2008

Senggama Keyakinan

.

hei ruang!

kau hembuskan debu,

ke hidungku lalu bersemayam di paru-paru

ke hidupku yang sesak

seperti neraka

.

hey ruang!

kau jejalkan ludahnya

ke mulutku lalu mengalir ke telinga

seperti doa

.

dan kau waktu!

gairah itu selap-selip di hidup yang penuh

hingga sampai ke liang itu

di mana semua bermuara

kulepas semua,

kulepas dan lemas

seperti hijrah yang gagal

.

Kostan Depok, 08 November 2008

Itulah Kita

November 13, 2008

Itulah Kita

.

pada celah itu,

kutu dan debu mengintip

sepasang telanjang

saling- menjilati pori-pori

ketika sajak berhenti dibaca

ketika buku kehilangan huruf-hurufnya

ketika kitab melembab di bawah ranjang

.

pada celah itu,

kutu dan debu mengintip

sepasang kelamin bertemu

dalam gairah yang gila

lalu

terhenti

terhenti dan mati

.

Kostan Depok, 08 November 2008

Noni

November 6, 2008

Noni

“abu, bahasa di munculkan untuk dimengerti, agar penggunanya saling memahami” (Noni)

Saya berkenalan dengan dia setahun setengah yang lalu, dan sampai kini belum kenal siapa dia? Kecuali imaji, soal seorang perempuan yang sanggup menghadapi apapun yang hadir sebagai ancaman. Kecuali cinta.

Saya datang menawarkan sebentuk cinta, dalam rupa ancaman yang paling sulit dimengerti, dan ia hadapi itu sejenak -sekedar menguasai rasa takutnya yang lompat dari masalalu, lalu berlari. Perempuan menghindari cinta, karena mungkin baginya itu terlalu sia-sia, atau hanya karena itu datang dari saya?

Yang pasti dia menghindarinya. Dan dia cekatan dalam hal ini, seperti seketika menjadi pelawak dan mengajak tertawa, lalu lupakan cinta. Atau seketika mencapai puncak harmoni seorang pertapa yang berkata, hasrat itu hanya sementara, mari kita mencari yang abadi. Atau seringkali dia begitu sibuk dan berkata, “cinta, itu nanti saja”.

Apakah ini gejala perempuan modern, menganggap cinta adalah persoalan yang mengancam produktifitas menjadi kendur, mengancam target karir terundur, atau bahkan mengancam eksistensinya sendiri, seperti ancaman bagi gelombang emansipasi yang sedang gencar mengalir dalam darahnya sebagai perempuan yang sadar zaman.

Saya sedang tidak mencemooh nilai kemandirian seorang perempuan, saya hanya sedang menyampaikan padanya suatu kenyataan bahwa cinta tak bisa kau hindari, karena ia seperti lembab kulitmu yang selalu kau jaga setiap hari. Dan cinta bukan kosmetik, pulasan untuk rasa percaya diri. Ia adalah gairah yang ajaib.

Dan inilah cinta yang pernah kutawarkan, suatu ancaman atas keberadaan tubuhmu yang layaknya mesin, pemujaan atas rutinitas. Cinta ini adalah ajakan untuk melihat ada yang bersembunyi muram dalam pikiran-pikiran yang selalu mampu menemukan jawaban atas persoalan yang menuntut hasil baik.

Kau layak atas pendirian itu, kuakui itu dengan sangat. Tapi dari orang yang bahasanya kau rasa sulit dimengerti ini, kuajukan sekali lagi, bahwa cinta juga bisa dijadikan dasar yang kokoh untuk kita berdiri, walau ia adalah kecamuk dalam lubuk kesadaran yang seringkali tidak jelas.

Abu Mufakhir

5 Oktober 2008

Sistem Kerja Harian Lepas

Pada Buruh Perkebunan Kelapa Sawit

Dimanakah dikau Negara?

Abu Mufakhir

Ada banyak persoalan penting dalam urusan ketenagakerjaan di Indonesia yang bermuara pada kebijakan Negara yang timpang. Dua dari persoalan penting itu adalah, pertama informalisasi ketenagakerjaan yang kian meningkat dengan semakin efektifnya sistem pasar tenagakerja fleksibel, kedua buruh di sektor informal. Keduanya saling terkait, dan berdampak sama: kemiskinan bagi buruh.

Fleksibilisasi pasar tenagakerja yang menyebabkan terjadinya gelombang informalisasi, merupakan strategi yang terus dikembangkan oleh pemilik modal dalam rangka maksimalisasi keuntungan. Karena dengan hubungan kerja yang fleksibel, pemilik modal bisa mengelak dari berbagai tanggung jawab pemenuhan hak buruh yang mempengaruhi komposisi biaya ketenagakerjaan. Ada banyak bentuk dari hubungan kerja non formal yang dikembangkan pemilik modal dan salah satunya adalah buruh harian lepas yang disingkat BHL.

Apapun bentuk dari hubungan kerja non formal itu, tujuannya adalah menemukan sistem yang mampu meningkatkan keuntungan perusahaan dengan menekan upah buruh sekaligus menaikkan beban kerjanya. Prinsip mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil mungkin merupakan prinsip ekonomi kapitalis, dimana buruh hanya dipandang sebagai komoditas, merupakan bagian dari mesin produksi yang produktifitasnya dihitung melalui sejumlah target hasil dan jam kerja.

Industri Kelapa Sawit: Ladang Buruh Harian Lepas (BHL)

Industri kelapa sawit selain sebagai salah satu sektor primadona yang telah menghasilkan miliaran dolar, dan menjadi salah satu ekspor andalan Indonesia, juga merupakan ladang yang subur bagi pemilik modal untuk menanam sistem kerja buruh harian lepas, hal ini selain berdasarkan observasi lapangan, juga pada data-data yang menunjukan bahwa sektor perkebunan merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja lepas[1]. Dimana buruh harian lepas di berbagai perkebunan kelapa sawit (misal: di Sumatera Utara), sama sekali tidak mendapatkan perlindungan sosial[2]. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Permenaker No. Per-03/Men/1994 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Tenaga Kerja Borongan, dan Tenaga Kerja Kontrak. Dalam peraturan itu pengusaha wajib mengikutsertakan semua kategori tenaga kerja yang disebutkan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), namun dalam kenyataannya, jamsostek hanyalah mimpi di siang bolong bagi BHL di perkebunan kelapa sawit. Padahal BHL seringkali menjadi korban kecelakaan kerja[3]. Jika untuk kecelakaan kerja saja mereka tidak mendapatkan jaminan, apalagi untuk jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan kesehatan. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, mengingat BHL sebagai bagian dari hubungan kerja tanpa ikatan mempunyai resiko ekonomi lebih besar dibanding buruh sektor formal.

Selain tidak adanya jaminan sosial, BHL di perkebunan kelapa sawit juga mendapatkan upah yang sangat rendah. Kondisi ini sebenarnya merupakan gambaran umum kondisi buruh perkebunan di Indonesia: mendapatkan upah rendah. Dan dalam kenyataannya, upah buruh sektor industri selalu lebih besar dari upah buruh perkebunan.

BHL di perkebunan kelapa sawit secara umum bekerja di lapangan sebagai tukang panen (memetik buah sawit), dan perawatan (meliputi: pemupukan, penyemprotan hama, pembersihan lahan, dlsbnya), jumlahnya tergantung dari luas lahan perkebunan, namun pada umumnya jumlah BHL lepas adalah setengah dari jumlah total buruh.

Jumlah penggunaan BHL oleh perusahaan perkebunan berlandaskan pada tingkat yang dapat terus menjaga keuntungan pengusaha, dan setiap BHL bekerja menggunakan sistem borongan, artinya upah yang ia terima berdasarkan berapa banyak target yang bisa ia capai, bahkan jika tidak mencapai target ia akan menerima potongan upah. Hal ini jelas akan memicu BHL untuk meningkatkan produktivitasnya, terutama pada pekerjaan bagian panen, ia akan berusaha untuk bisa memanen sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan perusahaan, sehingga meningkatkan keuntungan perusahaan. Syarat-syarat untuk melakukan pemetikan buah sawit, alat kerja, dan ketentuan upah, yang ditentukan sepihak oleh pemilik perkebunan adalah demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara mengurangi biaya upah dan menghilangkan jaminan sosial buruh.

Secara ringkas itulah salah satu bentuk penindasan di perkebunan yang dialami BHL, tidak adanya jaminan sosial dan upah murah. Namun hal ini bukan berarti buruh tetap atau biasa disebut dengan istilah buruh SKU (Syarat Kerja Umum) juga tidak mengalami perlakuan tidak adil, cuma memang BHL kondisinya lebih memprihatinkan. BHL dipaksa bekerja dengan sistem yang mendorong keuntungan pengusaha menjadi lebih besar, sementara itu, resiko kerja yang ada dibebankan sepenuhnya kepada BHL.

Perhitungan upah BHL yang menggunakan sistem borongan, jelas didasarkan pada orientasi pengusaha untuk mengejar jumlah produksi dan keuntungan. Kondisi ini akan terus berlangsung, ketika lapangan kerja di wilayah tersebut hanya bergantung pada keberadaan perusahaan perkebunan swasta dan kondisi geografis wilayah perkebunan kelapa sawit yang terisolir. Sebagian buruh tidak memiliki alternatif pekerjaan lain selain menjadi BHL dengan upah murah dan resiko kerja apapun. Sebaliknya bagi pihak pengusaha kondisi geografis ini jelas menguntungkan karena pasokan tenaga kerja buruh murah akan tetap tersedia melimpah dari generasi ke generasi, sehingga pihak pengusaha terus berada pada posisi yang semakin kuat untuk menentukan kesepakatan kerja dengan para buruhnya.

Namun ketika pemerintah tidak mampu menciptakan pekerjaan melalui sektor Negara, maka seharusnya pemerintah melindungi warga Negaranya yang menjadi buruh di sektor swasta, agar mendapatkan jaminan sosial dan upah yang layak. BHL di perkebunan menjalankan kondisi dan situasi kerja yang hampir sama dengan buruh tetap, dan bekerja setiap hari selama bertahun-tahun, sehingga sudah sepatutnya menjadi kewajiban bagi perusahaan perkebunan untuk mengangkat BHL menjadi buruh tetap dan diikutsertakan dalam program jamsostek. Dan merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memastikan perusahaan perkebunan swasta menjalankan kewajibannya tersebut.

Hubungan buruh dan majikan dalam proses produksi adalah hubungan yang mengesankan relasi saling membutuhkan. Namun hubungan majikan dan buruh sejatinya adalah hubungan konflik, karena secara hakiki memiliki kepentingan yang bertentangan. Kepentingan majikan adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan kepentingan buruh adalah upah layak yang mampu mendorongnya ke arah kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan yang ada antara pengusaha dengan buruh bukan hanya hubungan yang saling membutuhkan, tetapi juga hubungan yang saling berbeda kepentingan (Suziani, 1999).

Jelas jika BHL perkebunan kelapa sawit dihadapkan sendirian dengan pemilik modal dalam hubungan pertentangan ini, maka pemilik modal berada pada posisi yang jauh lebih kuat. Karenanya pemilik modallah yang bisa menentukan segala cara produksi, model hubungan kerja, jumlah upah, dlsbnya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya.

Maka satu entitas yang tersisa adalah Negara, namun pertanyaannya berada dimana Negara pada realitas ini?

Bogor, 02 Oktober 2008


[1] Salah satunya lihat: Keri Laksmi Sugiarti, Sistem Kerja Borongan Pada Buruh Pemetik Teh Rakyat dan Negara; Jurnal Akatiga.

[2] Lihat: K3 di Perkebunan, Kelompok Pelita Sejahtera, Medan, Sumut. Hal 48

[3] Ibid. Hal 47

?

November 2, 2008

Salam Bang Juniper!!!

Klo kata bang Iwan Fals: “…bicara moral, bicara akhlak, biar kami cari sendiri.., urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yg adil yg kami mau…”

Para pendukung UU Pornografi seringkali melandaskan argumentasinya pada sekitar dimensi moral. Pertanyaannya adalah, apa itu moral? apa kita butuh moral?

Moral mau tidak mau, dapat dipastikan selalu bersifat munafik, posisinya menggurui, seakan yang paling bermorallah yang bicara atas nama moral. Dan moral yang bersifat munafik tadi dimanfaatkan dalam UU Pornografi sebagai alat untuk mengatur mana itu baik, mana itu tidak baik, atau untuk menentukan mana manusia yang baik dan mana manusia yang tidak baik. Seharusnya para pendukung UU Pornografi itu belajar soal apa itu Etika?

Etika berbeda dengan moral yang dogmatis, perlu diterima utuh, dan menggurui tadi, etika adalah seperangkat teori yang membahas nilai-nilai baik dan buruk yang sangat terbuka untuk diperdebatkan secara ilmiah, dan ia berlaku untuk semua manusia dengan proses yang dialektis tidak hanya untuk golongan tertentu.  Etika adalah salah satu alat untuk mencari dengan fair apa yang baik dan buruk, dengan mempersoalkan hal-hal yang penting bagi tingkah laku manusia, seperti kehendak bebas, kemanusiaan, solidaritas, dlsbnya. Dan tujuan utama dari etika bukanlah untuk jadi pedoman apalagi peraturan, tapi untuk tahu.

Etika menelusuri kemungkinan keliru dan dengan demikian sekaligus menemukan kesempatan lagi untuk mencari sampai pada kebenaran berada. Dan kebenaran sendiri bisa berpindah, menemukan tempat tinggal yang baru. Begitulah, Etika adalah cara untuk mencari kebenaran, bukan untuk merasa paling benar!

Jadi ketika para pendukung UU Pornografi ini merasa Bangsa kita dicengkram oleh Pornografi, yang seharusnya dibangun adalah kesadaran etis, dan itu dibangun melalui pendidikan yang teladan, dalam pengertian yang utuh memberikan peserta didik alat dan cara agar ia bisa mengembangkan kesadaran etisnya. Jika, moral adalah pelampung yang diberikan kepada orang yang hampir tenggelam, maka etika adalah cara bagaimana agar orang itu bisa berenang (Franz Magnis Suseno). Karena kesadaran etis inilah yang akan menentukan tindakan yang konkrit dari setiap manusia untuk memberi putusan bagi dirinya mana yang baik dan mana yang buruk.  Maka putusan itu adalah putusan kata hati, bukan karena ketakutan.

Mana baik, mana buruk, mana netral?

Pornografi, bisa baik, bisa buruk, bisa juga netral…

Coba tanya apa artinya pornografi pada penjual VCD BF di kaki lima?
Karena mungkin jawabannya adalah: sumber pencaharian!

Hahaha

Salam Keberagaman
Abu

INI akan lebih gak nyambung lagi dengan posting saya yang barusan, tapi di luar hujan deras dan saya terjebak sendiri di sini, yang lain sudah berangkat untuk sebuah malam sabtunya masing-masing.

Jadi, seberapa jauh beda antara iya dan tidak? bisa sangat berbeda karena justru mirip, dan bisa sangat mirip karenanya justru sangat berbeda. Persoalannya adalah, kita sering lupa, bahwa pada dua sifat yang kita bedakan itu ada suatu ‘penghubung’, suatu ‘transisi’ dari iya ke tidak, atau sebalik.

Tidak jarang, ‘iya’ adalah ketika ‘tidak’ sudah sangat begitu dominan, dan tidak adalah kondisi ketika iya sudah sangat dominan. Kita bisa bosan dengan iya, maka iya puncaknya justru adalah tidak. Seperti itukah Porno dan tidak porno? atau berbeda, karena porno dan tidak porno salah satunya soal persepsi, yang memang memanfaatkan kondisi yang sangat mendasar- terkait sisi paling dalam manusia, hasrat biologis,.Kenapa? karena bila tak ada nafsu, apa yg disebut porno.

Mungkin dari situlah ia kemudian baru berkembang menjadi persepsi. Tapi mungkin, ketika kita bicara persepsi kita sesungguhnya sedang bicara ‘penghubung’ tadi, kita sedang bicara ‘transisi’. Dan itu seperti jembatan yang kecil di antara dua ruang yang sangat luas. Seandainya, dua ruang besar itu adalah pulau Jawa dan pulau Bali, maka persepsi itu adalah jembatan sepanjang sepuluh meter (anggap saja ini cukup menghubungkan), sangat kecil, sangat tipis, tapi persepsi itu bisa menghantar kita dari pulau Jawa ke pulo Bali, atau sebaliknya dari pulo Bali ke Pulo Jawa. Karena itulah mungkin, UU Pornografi dikatakan Porno.

Bayangkan, persepsi itu cuma sepanjang 10 meter. Jika kita ada di tengah, enam meter ke kiri sampai ke Porno dan enam meter ke kanan sampai ke tidak porno. Dan yang perlu kita ingat hujan-hujan begini adalah, kondisi-kondisi psikologis selalu dipengaruhi oleh kondisi sosiologis. Dan dalam faktor sosiologis itu ada yang kemudian dikenal dengan institusi pengendalian sosial. Perilaku sosial selalu di kendalikan oleh suatu institusi, tapi bukan itu soalnya. Yang dipersoalkan adalah cara bekerja dari institusi pengendalian sosial tadi, dalam menanamkan suatu orientasi tertentu, ia setidaknya bisa bekerja dengan cara represif dan partisipatif. Dan ingat, pengendalian sosial bercampur kental dengan kekuasaan seperti kopi dengan air panas. Dan itulah cara saya memahami fundamentalisme, buah kawin silang institusi yang menjalankan pengendalian sosial dengan kekuasaan atas hasrat fanatisme. Ketika suatu perilaku ditasbihkan menyimpang oleh kekuasaaan.

Tarian Jaipong bisa bergeser cepat dari kesenian menjadi suatu prilaku yang menyimpang, dengan indikator mengandung unsur pornografi, dan jelas keputusan bahwa tari jaipong itu merupakan perilaku menyimpang bukanlah dilandaskan pada norma-norma masyarakat, tapi pada keputusan kekuasaan. Ada yang ingat, dulu di Jakarta ada razia laki-laki berambut gondrong, siapa ketangkap rambutnya langsung dipotong ditempat, apakah rambut panjang adalah perilaku yang menyimpang? Menurut peraturan waktu itu: iya!. Dan alasannya adalah, rambut gondrong bagi laki-laki tidak sesuai dengan norma-norma bangsa dan agama.

Fundamentalisme, dengan rendah hati saya timbang jauh lebih militan dari kita, dan ia dibekali fanatisme yang ajaib, yang cukup untuk hidup di padang gersang selama ribuan tahun. Ia bergerak senyap dan syahdu, melantun-lantun dan merayu, di antara harapan yang kian usang, kegelisahan yang kian menuntut segera dijawab, dan tentu saja oleh janji-janji sejuk bak ajian sakti yang bisa membuat kita ngelindur di dunia yang serba bergerak.

Fundamentalisme mengajak rombongan kita ke satu pulo kemudian merobohkan jembatannya. Jadi pilihannya kau di pulau itu, atau berenang dan tenggelam.

Dari dulu saya ingin sekali berteriak:
Yang MERAH Sok BERANI
Yang PUTIH Sok SUCI
Itulah Merah Putih, Bendera siapa?

Salam

Abu